PENDAHULUAN
Pada kenyataannya Ekaristi itu sendiri memiliki banyak bentuk
dalam pandangan dan penghayatan umat kristiani. Dalam maksud ini ekaristi
biasanya dilihat sebagai perayaan
kehadiran sakramental Yesus Kristus (anamnese), ekaristi sebagai
realisasi diri, ekaristi sebagai perayaan seruan karunia Roh Kudus (epiklese),
ekaristi sebagai perayaan ucapan syukur dan sebagainya. Dalam banyak bentuk,
pandangan dan pemahaman itu, dalam karya tulis ini penulis tidak bermaksud
untuk memaparkannya secara satu persatu. Akan tetapi penulis hanya memfokuskan
diri pada ekaristi sebagai suatu perayaan ucapan syukur.
Bentuk perayaan Ekaristi sepanjang sejarah tidak banyak
berubah karena orang Kristiani merasa terikat oleh perintah Tuhan pada malam
waktu Ia diserahkan yaitu, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Kor.
11: 24-25). Gereja menepati perintah ini dengan merayakan peringatan akan
kurban Kristus. Dengan demikian, umat mempersembahkan kepada Bapa apa yang
diberikan-Nya sendiri kepada manusia yaitu pemberian alam ciptaan-Nya, roti dan
anggur, yang oleh kuasa Roh Kudus serta sabda Kristus menjadi tubuh dan darah
Kristus: dengan berbuat demikian Kristus sendiri dihadirkan secara nyata-nyata
dan penuh misteri. Oleh karena itu Ekaristi hendaknya dilihat sebagai: Puji
syukur kepada Bapa, Peringatan akan kurban Kristus dan kurban tubuh-Nya, yaitu
Gereja, dan kehadiran Kristus karena kuasa sabda serta Roh-Nya.
REFLEKSI SISTEMATIS MENGENAI EKARISTI
SEBAGAI UCAPAN SYUKUR
1.
Ekaristi. Istilah dan Asal-usul[1]
Istilah “Ekaristi” berasal dari bahasa
Yunani eucharistia yang berarti puji
syukur. Kata eucharistia adalah
sebuah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa Yunani eucharistein yang berarti memuji,
mengucap syukur.[2] Dalam teks-teks Perjanjian Baru (Mat. 26: 27;
Luk. 22: 19.20), kata kerja eucharistein
ini digunakan bersama-sama dengan kata kerja eulogein (misalnya dalam Mat. 26: 26; 1Kor. 10: 16), yang juga
berarti memuji-bersyukur, untuk menerjemahkan kata kerja bahasa Ibrani barekh (memuji, memberkati). Kata kerja barekh menjadi berakhah untuk kata bendanya. Dalam tradisi liturgi Yahudi, kata berakhah biasa digunakan dalam konteks
doa berkat perjamuan yang berisi pujian, syukur, dan permohonan. Doa berkat
tersebut berlangsung dalam perjamuan makan Yahudi, yakni doa berkat atas roti
(sebelum perjamuan makan) dan piala (sesudah perjamuan makan). Dengan demikian,
kata Ekaristi kita memiliki asal
usulnya pada doa berkat yang berlangsung dalam perjamuan makan Yahudi.
2.
Jejak-Jejak Ekaristi
Kata Ekaristi
itu sudah digunakan untuk menunjuk seluruh Perayaan Ekaristi pada tiga abad
pertama sejarah Gereja, seperti terdapat dalam tulisan Didakhe, tulisan Santo Ignatius dari Antiokhia, Yustinus martir,
dan Origenes. Namun, sejak abad IV baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat,
istilah Ekaristi mulai menghilang.
Khususnya di Barat, istilah Ekaristi
semakin disempitkan untuk menyebut santapan ekaristis atau komuni. Sejak abad
IV tersebut istilah “kurban” (sacrificium) dan “persembahan” (oblation) semakin
popular digunakan untuk menunjuk seluruh Perayaan dan menggantikan istilah Ekaristi. Tengglamnya istilah Yunani eucharistia ini kiranya juga berkaitan
dengan penggunaan bahasa Latin sejak abad III-IV dalam liturgi Gereja. Baru
pada abad XX, berkat pembaruan liturgi dan teologi yang menggali kekayaan
liturgi dan teologi Gereja abad-abad pertama, istilah Ekaristi kembali dipopulerkan dan kini praktis menjadi istilah
paling lazim untuk menunjuk keseluruhan Perayaan Ekaristi. Tonggak penyebutan
Ekaristi untuk seluruh Perayaan Ekarsti adalah Konsili Vatikan II, terutama
melalui konstitusi liturgi Sacrosanctum
Concilium. Sejak itu istilah Perayaan
Ekaristi menjadi istilahyang sangat popular dan lazim digunakan di
seluruhGereja. Bahkan Gereja-Gereja Protestan juga menggunakan istilah Ekaristi pula.[3]
Pada intinya, istilah Ekaristi menunjuk dengan bagus isi dari
apa yang dirayakan dalam seluruh Perayaan Ekaristi. Kata Ekaristi maumengungkapkan pujian syukur atas karya penyelamatan
Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus, sebagaimana berpuncak dalam
peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus. Dengan pujian syukur itu, Gereja
mengenangkan (yang artinya: menghadirkan) misteri penebusan Kristus itu
sekarang ini dan di sini.
3.
Ekaristi sebagai Perayaan Puji Syukur Kepada Bapa
Dari istilah eucharistia sendiri sudah jelas bahwa Perayaan Ekaristi
pertama-tama merupakan perayaan puji syukur. Dalam tradisi biblis kata Ibrani berakah menunjuk doa pujian yang
dialamatkan kepada Allah sebagai ungkapan syukur atas tindakan penyelamatan
Allah yang mengagumkan bagi umat-Nya dan sekaligus permohonan berkat bagi umat
sekarang.[4] Tindakan
penyelamatan Allah yang dipuji itu memang merupakan tindakan Allah di masa
lampau, akan tetapi dalam tradisi biblis doa pujian itu sekaligus merupakan
penghadiran tindakan penyelamatan Allah pada masa lampau itu ke hari ini,
sehingga kini pun umat dapat ikut mengalami tindakan penyelamatan Allah dan
sekaligus umat berharap bahwa Allah akan memenuhi karya penyelamatan-Nya itu di
masa mendatang. Dimikianlah dalam
perjamuan paskah Yahudi, Yahwe, Allah Israel, dipuji dan karya-Nya disyukuri,
yakni karya penyelamatan-Nya yang mengagumkan atas bangsa israel ketika mereka
dibebaskan dari penjajahan Mesir.
Dalam
ekaristi, sakramen keselamatan kita dirayakan yang dikerjakan Kristus di kayu
salib juga diucapkan puja syukur atas karya penciptaan. Dalam kurban ekaristi
seluruh alam ciptaan yang dikasihi Tuhanit dipersembahkan kepada Bapa melalui
wafat dan kebangkitan Kristus. Ekaristi adalah kurban syukur kepada Bapa, dan
dalam kurban ini Gereja mengucapkan terima kasih kepada Allah atas segala
karunia, atas semuanya yang dikerjakan-Nya dengan meciptakan, menebus, dan
menguduskan dunia. Kurban pujian ini sebagai ucapan syukur atas segala yang
baik, indah, dan adil yang oleh Allah dilaksanakan dalam alam ciptaan dan dalam
umat manusia dipersembahkan Gereja atas nama segenap alam ciptaan dalam diri
Kristus. Dialah yang mempersatukan kaum beriman dengan diri-Nya dan dengan doa
permohonan-Nya sehingga kurban pujian kepada Bapa dipersembahkan oleh Dia dan
bersama dengan-Nya untuk diterima di dalam Dia.[5]
Dari
stuktur Perayaan Ekaristi juga sudah tampak bahwa Perayaan Ekaristi
pertama-tama merupakan perayaan syukur Gereja. Dalam Perayaan Ekaristi, kita
mensyukuri karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus,
yakni terutama dalam peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Maka, seluruh doa
dalam Perayaan Ekaristi itu dialamatkan kepada Allah Bapa. Ungkapan yang penuh
syukur itu tampak sekali dalam seluruh doa syukur agung (DSA). Sudah sejak
dalam prefasi kita bersyukur kepada Allah Bapa yaitu dengan ungkapan: “Sungguh
layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus, Allah yang kekal dan kuasa, kami
senanatiasa bersyukur kepada-Mu dengan pengantaraan Yesus Kristus, Putra-Mu
yang terkasih” (prefasi dari DSA II). Puji syukur itu terus mewarnai selurh doa syukur agung, yakni atas karya kasih dan kebaikan Allah yang
tampak dalam Putra-Nya Yesus Kristus yang menebus dan menyelamatkan umat
manusia melalui kurban salib yaitu wafat dan kebangkitan-Nya. seluruh doa
syukur agung itu diakhiri dengan rangkuman doksologi penutup yang memang
merupakan pola doa kristiani yaitu doa pujian yang dialamtkan kepada Bapa melalui pengantaraan Kristus dan berkat Roh
Kudus yaitu “Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia, bagi-Mu,
Allah Bapa yang mahakuasa, dalam persekutuan dengan Roh Kudus, segalam hormat
dan kemuliaan, sepanjang segalam masa”. Kemudian umat menjawab
dengan meriah: “Amin”.[6]
3.
1. Puji Syukur Sebagai Bentuk Dasar Ekaristi.
Demikianlah
pujian dan syukur kepada Allah merupakan unsur konstitutif dalam Perayaan
Ekaristi.[7] Bahkan puji
syukur itu sendiri oleh teologi sekarang dipandang sebagai bentuk dasar
Ekaristi sendiri. sifat dan bentuk dasar Ekaristi adalah puji syukur itu
sendiri. Maka, pendapat beberapa orang seperti Romano Guardini, G. Sohngen, J.
Pascher, yang mengatakan bahwa perjamuan merupakan bentuk dasar Ekaristi, kini
dalam kenyataannya ditinggalkan.[8] Hal ini
dikarenakan paham tersebut mengabaikan kenyataan bahwa meskipun tindakan
ekristik Yesus yang menentukan itu berlangsung dalam rangka perjamuan, tetapi
tindakan itu menyimpang dari bentuk perjamuan yang umum. Di samping itu, dalam
perkembangan, perayaan ekaristi sendiri dengan capat dipisahkan dari pesta
perjamuan makan. Seperti sudah disingung, inti perayaan ekaristi disusun oleh
doa syukur agung sebelum dan sesudah perjamuan makn dan tindakan ekaristik
Yesus. walaupun demikian, Perayaan ekaristi bisa saja disebut suatu perjamuan,
tetapi harus dikatakan sebagai perjamuan sakramental dalam arti bahwa perjamuan
dalam bentuk simbol. Perayaan ekaristi disebut perjamuan sakramental sejauh
ekaristi dilihat menurut simbol atau tanda yang dipakai, yakni roti dan anggur
yang memang berada dalam konteks perjamun makan dan menurut intensi dibaliknya
yaitu kebersamaan.[9]
3. 2. Bentuk Makna Ekaristi dan Bentuk Perayaan Ekaristi.
Dalam hubungannya dengan ekaristi
sebagai suatu perayaan ucapan syukur, saat ini orang memahami ekaristi secara
menyeluruh menurut makan teologis, liturgis, dan pastoralnya dengan
merefleksikan seluruh unsur dan makna ekaristi itu sendiri. bentuk makna
ekaristi dan bentuk perayaan ekaristi adalah konsep sendiri-sendiri namun
keduanya saling berhubungan satu sama lain.
3.2.1. Bentuk Makna Ekaristi
Bentuk makna ekaristi menunjuk aspek dan
unsur teologis-liturgis Ekaristi yang menentukan atau membentuk makna teologis
ekaristi. Aspek dan unsur Ekaristi yang membentuk dan menentukan makna ekaristi ialah, ekaristi sebagai anamnese, epiklese, koinonia,
dan kurban. Keempat aspek tersebut dihubungkan dengan makna dasar ekaristi
sebagai puji syukur, sebagaimana arti dasr eucharistia
dan eulogia. Dengan demikian,
pembicaraan mengenai ekaristi sebagai kenangan, permohonan akan turunnya Roh
Kudus, Komunio, dan kurban persembahan merupakan pembahasan bentuk makna ekaristi.[10]
3.2.2. Bentuk Perayaan Ekaristi
Bentuk perayaan ekaristi menunjuk aspek
dan unsur material ekaristi yang membentuk pelaksanaan dan perayaan liturugis
ekaristi. Jadi, bentuk perayaan ini lebih berkaitan dengan unsur-unsur liturgis
yang menopang pelaksanaan perayaan liturgi ekaristi. Unsur-unsur itu antara
lain segi perjumpaan dan berhimpunnya umat, segi mewartakan dan mengenang,
unsur doa-doa, unsur persembahan, dan penerimaan dalam komui.[11] Dalam
pandangan bentuk perayaan itulah orang baru boleh menyebut ekaristi sebagai
perjamuan sakramental. Sebab, unsur material ekaristi, yakni makanan dan
minuman yakni roti dan anggur, unsur penyantapan dalam komuni jelas
merupakan unsur suatu perjamuan. Hanya saja unsur-unsur perjamuan itu dalam
ekaristi bersifat sakramental. Dalam hal ini unsur-unsur perjamuan itu menjadi
simbol tetapi yang sungguh-sungguh riil dari kuban Salib Kristus.
PENTUP
Berdasarkan arti dan pengertiannya ekaristi dilihat sebagai
suatu bentuk doa untuk mengucap syukur atas karya keselamatan oleh Allah kepada
kita manusia yang nampak melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus
Putra-Nya. Dalam ekaristi kita mengucapkan syukur yaitu ungkapan terima kasih
atas karya keselamatan Allah itu serentak juga bersyukur atas kehidupan yang
kita alami, atas dunia, alam cipataan yang kita alami sampai saat ini serta
serentak memohon berkat dan penyertaan Tuhan untuk kehidupan kita ke depan.
Dalam perjalanan waktu ekaristi memiliki jejak-jejak sejarahnya sendiri yang
mana hal ini menjadi keterangan yang cukup untuk mengatakan bahwa ekaristi itu
sendiri pada awalnya telah dikenal dan dipraktekkan sebagai suatu perayaan
syukur kepada Allah yang membebaskan dan menyelamatkan manusia, Allah yang
berbaik hati bagi manusia dengan menganugerahkan kehidupan, dunia dan alam
ciptaan yang indah dan sebagainya. Dalam perkembangan itu hingga saat ini
ekaristi tetap menjadi bentuk ungkapan syukur umat kristiani yang dihayati
sebagai sebuah sakramen keselamatan yang terlaksana dalam Yesus Kristus yang
pengahayatannya terlaksana dalam perjamuan tubuh dan darah kristus dalam
ekaristi.
DAFTAR PUSTAKA
Martasudjita E. Ekaristi
– Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
____________
Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, Pastoral Yogyakarta:
Kanisius. 2003
O’Collins
Gerald. Kamus Teologi, Yogyakarta:
Kanisius. 1996.
Dister Nico Syukur, Teologis
Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Ujan Boli. Mendalami
Bagian-bagian Perayaan Ekaristi Yogyakarta: Kanisius. 1992.
[1] E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hal. 28-29
[2] Bdk. Gerald O’Collins, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
1996), hal. 63.
[3] Bdk. E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 28-29
[4] Bdk. Nico Syukur Dister, Teologis Sistematika 2 (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), hal. 391
[5] Ibid.
[6] Bdk. E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 344.
[7] Lih. Footnote dalam . E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 344 ; W. Kasper, “Einheit und
Vielfalt der Aspekte der Eucharistie”, dlm: Theologie und Kirche, Mainz 1987,
hlm. 307-307.
[8] Bdk. E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 345.
[9] Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis, Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003),hal. 56.
[10] Bdk. Boli Ujan, Mendalami Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius,
1992), hal. 35 dan Bdk. Bdk. E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hal. 346.
[11] Bdk. E. Martasudjita, Ekaristi – Tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 346